(Penulis: Taufik Hidayat - Mahasiswa Manajemen Pariwisata
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata YAPARI-AKTRIPA Bandung)
Saat
ini, fenomena anak punk sudah menyebar ke seluruh Indonesia tidak terkecuali Kota
Bandung. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi anak punk adalah
pemuda yang mengikuti gerakan menentang masyarakat yang mapan dengan
menyatakannya dengan musik, gaya berpakaian, dan gaya rambut yang khas. Dilihat
dari sisi sosial, anak punk merupakan individu atau sekelompok orang yang
sengaja keluar dari kehidupan “normal”nya untuk mencari kebebasan lalu
menjalani kehidupan kesehariannya dengan aktifitas atau gaya yang mereka rasa
sangat nyaman dan cocok untuk dijalani sehingga menjadi kesenangan atau
kepuasan tersendiri bagi mereka. Mereka menungankan kesenangannya ke dalam
beberapa bentuk seperti mengubah gaya penampilan berpakaian yang serba hitam,
memakai cenana jeans yang ketat dan robek di bagian lutut, menggunakan tato di
lengan, punggung, leher atau kaki serta mengubah gaya rambut menjadi lebih
nyentrik yang dipadukan dengan berbagai warna. Mereka pun seperti tidak
memiliki tempat tinggal, kesana kemari bergentayangan saat malam di persimpangan
jalan, taman kota, bawah jembatan bahkan di sudut-sudut bangunan yang sudah
tidak terpakai.
Di
beberapa sudut Kota Bandung seperti di Tegalega, Ciroyom, Sarijadi, Cemara,
Simpang BIP, Leuwi Panjang, Pasteur dan Jembatan Pasupati, masalah sosial
kehidupan anak punk sering terlihat pada malam hari terutama pada malam minggu.
Kebanyakan dari mereka adalah individu-individu yang yang rentan usianya antara
15 tahun sampai dengan 25 tahun yang termasuk ke dalam tahap perkembangan
remaja menuju dewasa. Lalu sebenarnya apa faktor yang menyebabkan mereka untuk lebih memilih menjadi
anak punk dan manjalani kehidupannya di jalanan ?
Menurut
sebagian besar orang, alasan mengapa seseorang memilih kehidupan menjadi
seorang anak punk adalah karena dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan eksternal. Faktor internal sering terjadi akibat jiwa orang itu
sendiri untuk memilih menjadi anak punk karena menginginkan kehidupan yang
bebas tanpa dibatasi oleh aturan, adapula dikarenakan permasalahan keluarga
seperti ayah dan ibu nya bercerai lalu si anak tidak merasakan kasih sayang (broken home) yang mendorong si anak
cenderung mencari alternatif pergaulan yang lebih bebas dan ingin mencari
perhatian dengan manjadi seorang anak punk. Atau faktor eksternal seperti
pergaulan di lingkungan sekitar (lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya,
dan lingkungan dunia luar) yang selalu dilihatnya lalu tingkah laku mereka diikuti
karena rasa penasaran ingin mencoba yang tinggi.
Masyarakat
selama ini jika mendengar kata “anak punk” selalu mengkaitkannya dengan hal-hal
yang negatif seperti pergaulan yang sangat bebas, dekat dengan rokok, pemakai
narkoba dan obat-obatan terlarang, ngelem, hingga kehidupan liar seks bebas dan
penyakit kelamin. Tak jarang realita sosial juga membuktikan bahwa anak punk
sering berbuat kriminalitas seperti mencuri, menyopet, tawuran antar kelompok
anak punk hingga mengamen dengan sifat dan kesan memaksa di angkutan umum
(angkot). Tentu realita ini sangat meresahkan masyarakat umum, terkhusus bagi
mereka para pengguna fasilitas publik di Kota Bandung.
Jika
dikaitkan dengan pariwisata, kondisi ini tentu akan membuat citra atau image
Kota Bandung menjadi buruk dan membawa kesan negatif bagi wisatawan. Kesan tidak
aman, tidak nyaman, tidak indah dipandang, tidak tertib tentu terbenak di hati
wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung. Semua wisatawan menginginkan adanya
unsur sapta pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan
kenangan) dalam setiap perjalanannya. Terjaminnya keamanan dan keselamatan,
ketertiban masyarakatnya, bersih dari segala unsur yang mengganggu keindahan
hingga adanya suatu kenangan yang berkesan dan tidak dapat dilupakan adalah
yang selalu diharapkan oleh siapapun jika berkunjung ke suatu daerah. Namun,
fenomena anak punk secara tidak langsung telah mengganggu kegiatan pariwisata
di Kota Bandung, seperti apa?
Realita
yang sering terjadi adalah dari sisi keamanan dan kenyamanan wisatawan terhadap
aktifitas anak punk, yaitu anak punk seringkali masuk ke angkutan umum dengan
modus untuk mengamen namun saat meminta bayaran seringkali bersifat dan
berkesan memaksa atau menyindir para penumpang, seperti “kok pelit banget sih!”,
“susah amat ngasih uang receh!” atau “cantik-cantik kok ngasihnya cuma segini!”.
Hal seperti itu membuat siapapun yang berada di dalam angkot termasuk wisatawan
merasa terganggu kenyamanan terlebih lagi anak punk yang masuk ke angkot berbau
badan tidak sedap dan tidak beretika atau wisatawan akhirnya memberikan uang
tambahan karena merasa terancam keselamatannya. Yang saat ini sering terjadipun
adalah anak punk sering masuk ke bus-bus pariwisata tidak hanya satu oranag
melainkan dua atau lebih yang seharusnya anak punk atau pengamen dilarang untuk
masuk ke bus pariwisata yang sedang membawa rombongan wisatawan namun tetap
saja mereka memaksa masuk yang akhirnya mengakibatkan wisatawan terganggu
kenyamanannya.
Adapun
realita lainnya jika dilihat dari sisi keindahan dan ketertiban adalah jika kelompok
anak-anak punk tidak di tertibkan, dibiarkan menyebar dan bebas dijalanan, yang
akan terjadi adalah timbul kesan tidak tertib, kumuh dan menyeramkan. Hal
seperti itupun sangat merugikan Kota Bandung sebagai suatu destinasi wisata
karena wisatawan terutama wisatawan mancanegara sering melihat dan
memperhatikan hal-hal yang kecil terkait dengan keindahan tata letak kota dan
kondisi sosial masyarakatnya.
Tentu
permasalahan sosial anak punk khususnya di Kota Bandung harus segera
diminimalisir agar tidak terjadi hal-hal yang mengganggu keamanan dan kenyamanan
para wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung serta tidak mengganggu keindahan
dan ketertiban di jalanan Kota Bandung. Bentuk untuk meminimalisir keadaan dan
kondisi ini adalah seperti melakukan razia rutin oleh Dinas Sosial Kota Bandung
atau dinas-dinas terkait lainnya. Atau memberikan alternatif lain seperti
pembekalan wawasan dan pengetahuan kepada para anak punk untuk lebih tertib
ketika mengamen dan memberikan mereka pengetahuan akan sanksi baik sanksi
sosial atau hukum yang akan diterima jika mereka melanggar ketertiban umum.
Sehingga, diharapkan keberadaan anak punk “liar” di Kota Bandung dapat di eleminasi
kesan negatifnya dan kejahatan yang sering dilakukan anak punk pun tidak
terjadi lagi.
2 komentar:
Sudah saatnya pemerintah memperhatikan hal2 semacam ini. Hal kecil yang terus dibiarkan, dapat menjadi hal besar yang semakin sulit untuk dihindarkan.
Bermanfaat sekali :)
Posting Komentar